Angklung Gubrak – Suasana daerah sunda punya suatu ciri khas jika kita telaah, biasanya dapat dialami sendiri atau bisa kita amati dari beberapa tayangan di televisi atau kanal Youtube tentang daerah Sunda.
Biasanya akan muncul hamparan perbukitan dengan pepohonan yang rindang, suara air sungai, air terjun, kicauan burung atau juga hamparan sawah di pagi hari yang indah.
Seluruh adegan tersebut akan sempurna apabila ditambahkan suara latar alat musik asal Sunda, Angklung dan seruling. Dikutip dari laman wikipedia, angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Suku Sunda.
Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-ujungnya menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.
Salah satu jenis angklung di wilayah sundah terutama di Bogor adalah Angklung Gubrak yang merupakan sebuah tradisi atau kesenian yang dibawakan untuk menghormati sang dewi padi tersebut. Tradisi ini sudah ada di Bogor, konon sejak 400 tahun yang lalu.
Apa itu Angklung Gubrak? Pada dasarnya “alat musik” ini sama seperti angklung biasa yang memiliki tinggi 30 centimeter dan lebar 16 centimeter, Angklung Gubrak berukuran jumbo. Ukurannya bisa mencapai 50 cm sampai 1 meter. Ukuran tabungnya juga lebih besar daripada yang biasa.
Angklung Gubrak tidak memiliki tangga nada dan jika digerakkan hanya akan mengeluarkan suara “gubrak gubrak”. Hal itu berkaitan dengan fungsinya sendiri yang lebih mendekati sebagai perangkat upacara dan bukan alat musik.
Menurut cerita, angklung jenis ini memang merupakan bagian dari tradisi masyarakat di kawasan Cigudeg, Kabupaten Bogor sejak 400 tahun lalu.
Masyarakat di masa itu akan menggunakan angklung ini untuk mengiringi berbagai kegiatan pertanian di masa itu. Sebut saja saat menanam padi, saat panen, dan saat mengantar hasil panen ke lumbung. Semua dilakukan dengan iringan suara “gubrak” dari angklung jenis ini.
Kepercayaan masyarakat pada masa itu adalah tanah dimana padi itu tumbuh dan dipanen akan kembali memberikan hasil yang berlimpah ketika ditanami kembali.
Dua kesenian dari dua daerah yang berbeda. Meskipun demikian, keduanya mencerminkan tradisi dan budaya yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat Tani.
KEREN !!