Keraton Gunung Kawi – Merupakan salah satu tempat terkenal di Kabupaten Malang. Tak hanya warga Malang saja, warga dari daerah lain juga mengetahui tempat ini. Karena tempat ini bukan hanya sekedar objek wisata. Namun juga merupakan tempat ibadah atau ritual.
Dari orang biasa hingga orang terkenal datang ke tempat ini untuk melakukan ritual. Jika dilihat dari sudut pandang wisata, tempat ini sungguh indah, ditumbuhi pepohonan hutan yang hijau. Ditambah lagi dengan udaranya yang sejuk, siapa pun akan betah berlama-lama berada di sini. Yang paling unik, di sini terdapat lima tempat ibadah yang melambangkan keharmonisan antar umat.

Lokasi Keraton Gunung Kawi Malang
Taman ini terletak di Gunung Pitrang, Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Jika anda berangkat dari Kota Malang jaraknya kurang lebih 30 kilometer. Membutuhkan waktu sekitar 1 jam berkendara.
Harga Tiket Masuk
Objek wisata ini bisa dinikmati dengan harga yang sangat terjangkau yaitu Rp 10.000. Wisatawan juga tidak dikenakan harga yang berbeda, baik dewasa maupun anak-anak. Atau pada hari biasa dan hari libur, harga tiketnya tetap sama.
Jam Buka Istana Keraton
Pilihan Editor :
Objek wisata ini buka mulai pukul 07.00 pagi hingga pukul 16.00 sore. Waktu yang tepat tentunya pada pagi hari, karena udaranya masih sangat sejuk. Dan jika berkunjung di hari biasa, objek wisata ini lebih sepi. Serasa menjadi objek wisata milik sendiri dan tidak banyak terganggu dengan lalu lalang wisatawan lain.
Keindahan Alam Gunung Kawi Malang
Jika Anda berharap menemukan bangunan istana yang megah, Anda tidak akan menemukannya di objek wisata ini. Keraton Gunung Kawi merupakan sebuah bangunan yang dulunya merupakan tempat pertapaan.
Sebab, kawasan tersebut tidak megah seperti istana pada umumnya. Tempat yang terkenal dengan istananya ini merupakan sanggar peribadatan.
Tempat ibadah ini sebelumnya digunakan oleh Mpu Sindok untuk bermeditasi. Untuk mencapai tempat ini, wisatawan harus menaiki tangga.
Di ujung tangga terdapat sebuah bangunan yang difungsikan sebagai tempat meditasi. Dimana pada bagian kanan dan kiri bangunan terdapat patung kuda terbang berwarna hitam.
Alam yang mengelilingi objek wisata ini masih sangat asri. Pepohonan yang tumbuh hijau menambah asrinya suasana. Apalagi terdapat pohon pinus yang menambah kesejukan. Wisatawan tidak perlu khawatir kepanasan, karena banyak kawasan yang teduh.
Tempat Para Raja
Keraton Gunung Kawi didirikan pada tahun 861 Masehi. Hal ini tertulis pada prasasti batu tulis di puncak Gunung Kawi. Mpu Sindok membangun istana ini untuk meditasi. Dimana Mpu Sindok bermeditasi hingga tubuhnya lenyap dan mencapai moksha.
Karena itu raja-raja di nusantara pun mengikuti apa yang dilakukan Mpu Sindok. Yakni melakukan penghematan di Keraton Gunung Kawi.
Para raja pun mengalami pertemuan rohani dan meminta petunjuk kepada Mpu Sindok. Salah satu raja yang melakukan pertapaan di lokasi ini hingga moksa adalah Prabu Kameswara.
Menurut cerita, Raja Kameswara dan istrinya tinggal di istana ini selama 3 tahun. Tepatnya pada tahun 1112, dan tiga tahun kemudian dia meninggal.
Yakni pada tahun 1115, hingga tepat tiga tahun raja dipenjarakan. Kabarnya, beberapa tokoh Indonesia pun sempat mencari ketenangan di objek wisata tersebut.
Daya Tarik Wisata yang Melambangkan Kerukunan Umat Beragama
Keraton Gunung Kawi bukan hanya sekedar tempat wisata atau tempat keagamaan. Lebih dari itu, tempat ini merupakan simbol kerukunan umat beragama. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya 5 tempat ibadah keagamaan yang ada di Indonesia. Dimana terdapat Masjid, Gereja, Pura, Vihara dan Pagoda.
Hal ini tidak lepas dari sejarah Keraton yang dulunya merupakan tempat menimba ilmu di bawah bimbingan 2 orang guru. Yaitu Eyang Djoego (Raden Mas Soeryo Koesmono) dan Eyang Iman Soedjono (Raden mas Iman Soedjono). Keduanya menyebarkan agama Islam dan membantu mengusir penjajah di kawasan Gunung Kawi.
Tak hanya mengajarkan agama, kedua tokoh ini juga mengajarkan ilmu pengetahuan. Meski sama-sama berlatar belakang Islam, namun ia tidak melihat adanya perbedaan ras, suku, agama, maupun bahasa.
Hal ini terbukti karena murid-muridnya tidak hanya beragama Islam. Dan para guru tersebut memerintahkan para siswanya untuk beribadah sesuai agamanya, dan membangun tempat ibadahnya sendiri.
Wisata Peziarah
Pengunjung yang datang tidak hanya wisatawan, namun juga peziarah. Di sini Eyang Djoego dan Eyang Iman Soedjono dimakamkan tidak jauh dari lokasi keraton.
Kakek Djoego meninggal pada tahun 1871, sedangkan Kakek Iman Soedjono meninggal pada tahun 1876. Makam keduanya masih sering mendapat kunjungan peziarah. Kedua tokoh besar ini dinilai berperan penting dalam proses akulturasi budaya dan agama.
Masyarakat setempat hidup rukun dalam keberagaman. Dan tentunya pengunjung yang datang tidak hanya berasal dari satu kelompok agama saja. Namun dari berbagai agama, semuanya tampak rukun mengunjungi rumah ibadah masing-masing.
Kepercayaan Keberuntungan dari Pohon Dewandaru
Objek wisata ini begitu unik dan menarik. Tak hanya lima tempat ibadah dan kawasan objek wisata indah saja yang ada. Namun ada juga pohon Dewandaru di area pemakaman. Pohon ini juga dikenal sebagai pohon keberuntungan, atau shian-to (Pohon Dewa).
Pohon ini tidak besar, batangnya berkayu namun cabangnya banyak dan kecil. Tingginya hanya beberapa meter, dengan daun menyirip dan kecil.
Buahnya seperti buah cermai, namun buah Pohon Dewandaru berwarna. Ada yang berwarna merah, kuning, oranye, dan yang muda berwarna hijau.
Peziarah kerap menunggu bagian pohon tumbang, baik itu ranting, buah, atau daun. Karena menurut kepercayaan, jika memelihara bagian pohonnya maka akan menambah kekayaan bagi yang memeliharanya.
Namun hal tersebut tidak mudah karena perlu waktu berbulan-bulan untuk menunggu bagian pohonnya tumbang. Pihak pengelola bahkan membatasi area pepohonan, agar wisatawan tidak menggoncangnya.


